Lalu, hari itu datang. Hari di mana aku akhirnya memutuskan untuk bicara dengan seseorang yang benar-benar paham apa yang terjadi denganku—seorang psikiater. Aku nggak datang langsung ke rumah sakit atau klinik, karena jujur aja, langkah itu masih terlalu besar buatku. Aku memilih jalur yang lebih aman : Halodoc. Di aplikasi itu, aku bisa bicara dengan psikiater tanpa harus melihat tatapan orang lain, tanpa harus menjelaskan kondisiku ke resepsionis, tanpa harus menghadapi ruangan tunggu yang terasa menyesakkan.
Psikiater yang aku temui cukup hangat. Dia mendengarkan ceritaku tanpa menghakimi, tanpa menyela, tanpa memberi nasihat klise seperti "Coba lebih bersyukur" atau "Jangan terlalu dipikirin." Aku menceritakan semuanya—tentang bagaimana kepalaku nggak pernah diam, tentang ketakutanku, tentang luka yang masih berdarah meskipun sudah bertahun-tahun berlalu.
Akhirnya, aku diresepkan Sandepril, antidepresan yang katanya bisa membantu menenangkan pikiranku. Awalnya, aku skeptis. Apa mungkin pil kecil ini bisa meredakan badai di kepalaku? Tapi setelah beberapa hari, aku mulai merasakan perbedaannya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kepalaku terasa lebih tenang. Bukan kosong, bukan mati rasa, tapi lebih… damai. Seperti gelombang laut yang akhirnya reda setelah dihantam badai.
Tapi di tengah proses ini, ada satu hal yang membuat aku terkejut. Ayahku tiba-tiba menelfon. Dengan suara penuh otoritas, dia bilang aku harus tinggal bersamanya, bahwa aku "nggak boleh ke mana-mana," bahwa dia akan mencarikan psikiater untukku. Aku tertawa sinis. Sudah berapa lama dia baru kepikiran untuk itu? Bertahun-tahun aku berjuang sendirian, bertahun-tahun aku menelan luka tanpa satu pun tangannya terulur. Dan sekarang, ketika aku sudah menemukan jalanku sendiri, dia tiba-tiba datang dengan solusi yang terlambat?
Aku menolak. Bukan hanya karena aku sudah punya jalanku sendiri, tapi juga karena aku tahu aku nggak akan pernah bisa sembuh kalau kembali ke tempat yang justru membuatku trauma. Tinggal bersamanya bukan solusi, itu justru jebakan yang akan menyeretku kembali ke lubang yang selama ini aku coba panjat keluar.
Banyak orang berpikir bahwa kesembuhan adalah tentang "kembali"—kembali ke keluarga, kembali ke masa lalu yang lebih baik. Tapi buatku, kesembuhan bukan tentang kembali. Kesembuhan adalah tentang melangkah maju. Tentang memilih apa yang terbaik untuk diriku sendiri, bahkan jika itu berarti menolak orang yang seharusnya paling dekat denganku.
Aku nggak tahu ke depannya bagaimana. Aku masih belajar berdamai dengan diriku sendiri, masih belajar menerima bahwa trauma bukan sesuatu yang bisa dihapus dalam semalam. Tapi satu hal yang aku tahu pasti: aku memilih untuk tetap berjalan, ke arah yang aku tentukan sendiri.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa aku benar-benar punya kendali atas hidupku.
-MB-
0 komentar:
Posting Komentar