Dalam perjalanan panjang sebuah bangsa, sejarah sering kali berulang dalam pola yang mungkin berbeda, tetapi memiliki esensi yang sama. Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Negara Indonesia (RUUTNI) belakangan ini menuai banyak perdebatan. Sebagian orang melihatnya sebagai langkah maju dalam ketertiban hukum, sementara yang lain justru mencium aroma kekuasaan yang mengingatkan pada era Orde Baru (Orba) di tahun 90-an.
Lalu, apakah RUUTNI benar-benar membawa kita kembali ke masa lalu? Apakah ini sinyal bahaya bagi demokrasi?
Masa Ketika Kekuasaan Terpusat
Bicara soal Orde Baru, kita tidak bisa lepas dari nama Soeharto, sang pemimpin yang memegang kendali Indonesia selama lebih dari tiga dekade (1966-1998).
Pada awalnya, Orde Baru hadir dengan janji manis, menstabilkan negara setelah gejolak politik 1965. Pembangunan ekonomi, keamanan, dan ketertiban menjadi prioritas utama. Tapi, di balik itu semua, ada sisi gelap yang tak bisa diabaikan yaitu kontrol ketat terhadap media, represi terhadap oposisi, dan pembatasan kebebasan berbicara.
Pada masa itu, rakyat hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Kritik terhadap pemerintah bisa berujung pada pemenjaraan, bahkan penghilangan paksa. Kebebasan pers nyaris tidak ada karena semua media harus tunduk pada keinginan pemerintah. Jika tidak, siap-siap saja diberedel.
Namun, di sisi lain, ekonomi tumbuh pesat dan pembangunan terjadi di berbagai sektor. Inilah alasan mengapa Orde Baru memiliki pendukung fanatik yang masih eksis hingga hari ini. Mereka melihat stabilitas ekonomi sebagai keberhasilan yang lebih besar dibandingkan kebebasan berpendapat.
Apakah Sejarah Berulang?
Ketika RUUTNI disahkan, banyak yang mulai merasa dejavu. Beberapa pasal dalam undang-undang ini disebut-sebut memiliki nuansa sentralistik ala Orde Baru, di mana negara memiliki kontrol lebih besar terhadap berbagai aspek kehidupan rakyat.
Beberapa poin yang menjadi sorotan :
1. Kontrol lebih besar terhadap media dan informasi
– Banyak yang khawatir bahwa regulasi ini akan membatasi kebebasan pers dan ekspresi, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
2. Kewenangan lebih luas bagi pemerintah
– Pasal-pasal dalam RUUTNI dinilai memberi ruang bagi pemerintah untuk mengontrol berbagai kebijakan tanpa pengawasan ketat dari masyarakat sipil.
3. Pembatasan kritik terhadap pemerintah
– Jika dulu di era Orde Baru kritik bisa berujung pemenjaraan, kini kekhawatiran serupa muncul dalam bentuk ancaman sanksi hukum bagi siapa pun yang dianggap ‘melanggar aturan’.
Tentu, tidak semua hal tentang RUUTNI negatif. Beberapa bagian memang bertujuan untuk memperkuat ketahanan nasional dan mengatur sistem negara agar lebih rapi. Namun, jika tidak diawasi dengan baik, ini bisa menjadi celah untuk kembali ke era otoritarianisme yang seharusnya sudah kita tinggalkan sejak 1998.
Belajar dari Sejarah
Sejarah mengajarkan kita bahwa kekuasaan yang terlalu besar di tangan segelintir orang hampir selalu berujung pada penyalahgunaan.
Kita tidak bisa menutup mata terhadap fakta bahwa Orde Baru menciptakan stabilitas ekonomi, tetapi dengan harga yang mahal, kebebasan rakyat ditekan dan demokrasi dimatikan. Setelah reformasi 1998, kita mulai menikmati kebebasan yang lebih besar dalam berbicara, berkumpul, dan mengkritik kebijakan pemerintah tanpa rasa takut.
Namun, kebebasan ini tidak boleh dianggap remeh. Jika kita lengah, sejarah bisa berulang dengan cara yang berbeda, tetapi dengan dampak yang sama. Inilah mengapa peran generasi muda, terutama Gen Z, sangat penting. Kita adalah kelompok yang akan menentukan apakah demokrasi akan terus tumbuh atau malah mundur kembali ke masa lalu.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Jika kita tidak ingin kembali ke masa Orde Baru, kita harus tetap kritis, peduli, dan berani bersuara. Berikut beberapa hal yang bisa kita lakukan :
1. Membaca dan memahami kebijakan pemerintah
– Jangan hanya ikut-ikutan tren. Coba baca dan pahami isi RUUTNI serta dampaknya terhadap kita sebagai warga negara.
2. Gunakan media sosial secara bijak
– Media sosial adalah alat yang sangat kuat dalam menyuarakan pendapat. Gunakan dengan cerdas untuk menyebarkan informasi yang benar dan bermanfaat.
3. Jangan takut untuk bersuara
– Jika kita melihat ada kebijakan yang tidak adil, jangan diam. Gunakan hak kita untuk menyuarakan pendapat, baik melalui media, diskusi publik, atau aksi damai.
4. Jaga demokrasi tetap hidup
– Demokrasi bukan hanya soal memilih pemimpin setiap lima tahun. Ia harus dijaga setiap hari dengan keterlibatan aktif dalam kehidupan politik dan sosial.
Masa Depan Ada di Tangan Kita
RUUTNI mungkin bukan ‘fotokopi’ dari kebijakan Orde Baru, tetapi jika kita tidak waspada, bisa saja ia menjadi gerbang menuju sistem pemerintahan yang lebih otoriter.
Sebagai generasi muda, kita memiliki tanggung jawab untuk memahami sejarah, belajar dari kesalahan masa lalu, dan menjaga agar demokrasi tetap berjalan di jalur yang benar. Jangan sampai perjuangan reformasi 1998 menjadi sia-sia hanya karena kita terlalu cuek atau tidak peduli.
Karena pada akhirnya, masa depan Indonesia ada di tangan kita.
Jadi, apakah kita akan membiarkan sejarah terulang, atau akan kita buat babak baru yang lebih baik?
Apa pendapatmu tentang RUUTNI? Apakah menurutmu ini langkah maju atau justru kemunduran? Yuk, diskusi di kolom komentar!
0 komentar:
Posting Komentar