Kamis, 06 Maret 2025

Hidup Di Tengah Standar Ganda Indonesia

Di negeri ini, orang-orang lebih sibuk ngurusin hidup orang lain daripada hidupnya sendiri. Apa aja dikomentarin, dari cara berpakaian, kerjaan, sampe urusan nikah. Aneh? Enggak juga, ini udah budaya masyarakat indonesia.

Yang paling ngeselin tuh standar yang berubah-ubah seenak jidat. Dulu disuruh sekolah tinggi biar sukses. Pas udah lulus? "Kok masih nganggur?" Lah, kerjaan aja susah dicari, semua lowongan minta pengalaman minimal 3-5 tahun dengan berbagai persyaratan yang gak ngotak. Kapan mulai kerjanya kalau dari awal udah disuruh punya pengalaman? Terus pas udah dapet kerja, bukannya dibilang keren, malah ditanya "Gajinya berapa?" Kayak hidup cuma dinilai dari angka di slip gaji.

Begitu masuk kepala tiga, soundtrack hidup mulai berubah jadi "Kapan nikah?". Ini pertanyaan yang sering muncul di acara keluarga, grup WhatsApp alumni, bahkan di obrolan di tukang sayur langganan. Tapi kalau misalkan kita tanya balik, "Kalau saya nikah sekarang, emang situ mau biayain?" Pasti langsung diem seribu bahasa.

Orang-orang yang paling sering nanya ini biasanya juga gak mikirin dampaknya. Nikah tuh bukan kayak beli gorengan yang asal enak langsung bungkus. Ada mental yang harus siap, ada finansial yang harus stabil, ada komitmen yang lebih panjang dari antrean mie gacoan. Biar nanti hidupnya gak pinjem sana sini. Malu-maluin!

Maksanya udah kayak ngedorong-dorong ke jurang, tapi jurangnya gak ada jaringnya. Giliran jatuh, mereka gak ada tuh yang mau nolongin.

Kayak hidup ini cuma tentang memenuhi checklist sosial yang gak ada ujungnya. Dan kalau ternyata rumah tangga yang dijalani gak sesuai harapan, orang-orang yang dulu maksa malah pura-pura gak tau. Yang dulu gembar-gembor nyuruh buru-buru nikah gak ikut nanggung beban kalau ada masalah. Semua dilempar balik ke kita, "Namanya juga hidup, harus dijalanin."

Terus kalau udah nikah, pertanyaannya gak selesai. "Udah punya anak belum?" Kalau udah punya satu, "Kapan nambah lagi?" Ini orang-orang kayaknya gak sadar kalau biaya hidup itu makin mahal, harga susu anak aja bikin keringetan. Masa punya anak tapi gak difikirin juga untuk biaya segalanya sampe dia gede? Atau gimana kalau kita minta mereka aja untuk patungan biaya sehari-hari dan biaya sekolah anak kita nanti? Mau gak? Pasti gak mau

Sama aja kayak di dunia kerja. Cewek disuruh mandiri, tapi kalau terlalu sibuk dibilang gak peduli keluarga. Cowok disuruh kerja keras, tapi kalau terlalu fokus karier dibilang gak peka. Padahal semua orang cuma pengen jalanin hidupnya tanpa diganggu ekspektasi orang yang gak relevan.

Yang paling aneh, kita diajarin buat "jadi diri sendiri" tapi setiap kali kita berubah, komentar pertama yang muncul adalah "Kok sekarang berubah sih?" Lah, terus maunya gimana? Mau hidup stagnan biar gak dikomentarin? Giliran gak berkembang malah dikatain gak punya ambisi dan gagal.

Dan yang paling absurd dari semua ini adalah gimana masyarakat kita sering kali terlalu ikut campur dalam hidup orang lain, tapi gak benar-benar peduli. Terlalu sibuk ngurusin siapa yang belum nikah, siapa yang kerja di mana, siapa yang sekarang begini begitu, tapi gak ada yang benar-benar mau dengerin cerita di balik itu semua. Pernah gak sih kita berhenti sebentar dan mikir, mungkin orang yang kita tanyain kapan nikah itu lagi berjuang keras buat hidupnya sendiri? Mungkin dia gak butuh pernikahan buat merasa bahagia. Mungkin dia lagi healing dari masa lalu. Atau mungkin dia udah cukup capek dengerin ekspektasi orang dan sekarang cuma mau hidup dengan caranya sendiri.

Karena pada akhirnya, hidup ini bukan tentang memenuhi ekspektasi orang lain. Mau sebaik apa pun kita, pasti tetap ada yang komentar. Kalau gagal, dikasihani. Kalau sukses, dicari-cari salahnya. Jadi daripada sibuk mikirin omongan orang, mending fokus ke hidup sendiri deh. Karena yang jalanin hidup ini ya kita—bukan mereka. Jadi gak usah di dengerin juga omongan gak penting dan gak bawa dampak yang besar kok. Berjuang ajalah buat hidup kita sendiri. 

-MB-

0 komentar:

Posting Komentar