Sejarah selalu punya cara unik dalam menguji kesabaran manusia. Ada bangsa yang terlahir dalam kebebasan, ada yang harus berdarah-darah dulu untuk mendapatkannya. Tunisia termasuk yang kedua.
Banyak orang mungkin nggak terlalu peduli dengan sejarah negara ini. Kalau mendengar "Tunisia," yang terlintas di kepala mungkin hanya gurun Sahara, reruntuhan Romawi, atau pantai-pantai indah di Afrika Utara. Tapi di balik semua itu, ada cerita panjang tentang bagaimana negeri ini melawan kolonialisme, bertahan dari penindasan, dan akhirnya merdeka pada 20 Maret 1956.
Ini bukan cuma cerita tentang sebuah negara yang lepas dari penjajahan Prancis. Ini adalah kisah tentang rakyat yang menolak dijajah lebih lama lagi.
Dari Zaman Kejayaan ke Penjajahan
Dulu, Tunisia itu pusat peradaban besar. Pernah dengar tentang Kartago? Itu adalah kerajaan maritim yang pernah hampir menghancurkan Romawi dalam Perang Punisia. Tapi seperti banyak cerita dalam sejarah, kejayaan bisa berubah jadi kehancuran dalam sekejap. Kartago tumbang, Tunisia berpindah tangan berkali-kali—Romawi, Arab, Ottoman, dan akhirnya jatuh ke tangan Prancis pada 1881.
Saat Prancis masuk, mereka nggak hanya membawa kekuasaan, tapi juga sistem yang bikin rakyat Tunisia jadi warga kelas dua di negeri mereka sendiri. Tanah-tanah terbaik diambil, ekonomi dikendalikan, dan yang menentang? Sudah bisa ditebak, dianggap musuh negara.
Bayangkan tinggal di rumah sendiri, tapi semua keputusan penting diambil oleh orang asing. Itu yang dialami rakyat Tunisia selama lebih dari tujuh dekade.
Benih Perlawanan dan Kebangkitan
Tapi begini, sekeras apa pun penjajah menekan, perlawanan nggak akan pernah benar-benar mati. Tunisia punya banyak pemikir dan pemimpin yang sadar bahwa mereka nggak bisa selamanya hidup dalam bayang-bayang Prancis.
Salah satu nama yang nggak bisa dilepaskan dari perjuangan kemerdekaan Tunisia adalah Habib Bourguiba. Dia bukan tipe pemimpin yang hanya teriak-teriak di podium. Dia paham bahwa kalau Tunisia mau merdeka, mereka harus main catur politik dengan hati-hati.
Bourguiba membangun gerakan nasionalis, menekan Prancis lewat diplomasi, dan secara bertahap menguatkan kesadaran rakyat bahwa mereka pantas untuk bebas. Tentu saja, Prancis nggak tinggal diam. Represi semakin keras, banyak aktivis dipenjara, dan Tunisia nyaris hancur karena pergolakan politik.
Tapi semakin ditekan, semakin kuat keinginan rakyat untuk lepas dari penjajahan.
Langkah Menuju Kemerdekaan
Pada awal 1950-an, Prancis mulai kehilangan cengkeramannya di banyak wilayah koloninya. Ada perang di Aljazair, perlawanan di Maroko, dan situasi politik di dalam negeri mereka sendiri juga kacau. Tunisia melihat celah ini sebagai kesempatan.
Perundingan dilakukan, tekanan internasional meningkat, dan akhirnya, pada 20 Maret 1956, Tunisia resmi merdeka.
Prancis terpaksa melepas cengkeramannya, dan Habib Bourguiba menjadi pemimpin pertama Tunisia. Ini bukan kemenangan yang instan. Ini adalah hasil dari puluhan tahun perjuangan, pengorbanan, dan tekad rakyat Tunisia untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Kebebasan Itu Harus Diperjuangkan
Kalau ada satu pelajaran yang bisa kita ambil dari kemerdekaan Tunisia, itu adalah kebebasan nggak pernah diberikan begitu saja—ia harus diperjuangkan.
Tunisia bisa saja tetap diam, menerima nasib sebagai bagian dari koloni Prancis. Tapi mereka memilih jalan yang lebih sulit, jalan yang penuh dengan resiko dan tantangan.
Hari ini, kita sering melihat kebebasan sebagai sesuatu yang biasa, seolah-olah ia selalu ada. Padahal, kalau kita melihat sejarah, hampir semua kebebasan yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari darah, air mata, dan keringat orang-orang sebelum kita.
Kemerdekaan Tunisia bukan hanya soal sebuah negara yang lepas dari penjajah. Ini adalah cerita tentang keberanian, tentang menolak tunduk pada sistem yang nggak adil, dan tentang bagaimana sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani memperjuangkan hak mereka.
-MB-
0 komentar:
Posting Komentar